Kekerasan pada anak didik di sekolah

Memprihatinkan!. Demikian ungkapan yang paling singkat dan tepat diucapkan manakala kita berbicara tentang kekerasan terhadap anak di lingkungan sekolah. Berita-berita mengenai kekerasan terhadap anak di sekolah kerap mewarnai pemberitaan media cetak dan elektronik di Indonesia.

 Memprihatinkan karena sekolah yang dibuat untuk mendidik anak-anak agar menjadi manusia yang “memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara”, justru mendapatkan perlakuan kekerasan di lingkungan di mana dia belajar tentang moralitas, anti kekerasan dan sebagainya. Sekolah disinyalir tidak lagi menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak-anak.

Di satu pihak sekolah adalah tempat di mana anak-anak dipersiapkan untuk menghadapi dan melayani masyarakatnya. Di pihak yang lain, sekolah juga merupakan benteng perlindungan bagi anak-anak untuk menghadapi tekanan dari masyarakatnya, sehingga mereka dapat merasa aman, bahagia, dan bebas menikmati masa kanak-kanaknya. Yang terakhir inilah kiranya perlu dipikirkan bagi pendidikan anak-anak, mengingat lingkungan sudah tidak banyak menyediakan tempat dan kesempatan bagi mereka untuk menikmati masa kanak-kanaknya.

Angka kekerasan pada anak mengalami peningkatan dari tahun ke tahun; termasuk kasus kekerasan yang juga terjadi pada anak didik di lingkungan sekolah. Direktur Nasional World Vision Indonesia Trihadi Saptoadi, menyebutkan terjadinya peningkatan jumlah kasus kekerasan terhadap anak dalam kurun waktu dua tahun belakangan ini dari 1.626 kasus pada tahun 2008 meningkat menjadi 1.891 kasus pada tahun 2009, sebagaimana dilansir Antara Lebih lanjut Trihadi merinci dari data 1.891 kasus pada 2009 tercatat sebanyak 891 kasus kekerasan terjadi pada anak didik di lingkungan sekolah.

Dalih Disiplin

Tidak jelas pasti, apa penyebab peningkatan kasus kekerasan di lingkungan sekolah, namun yang pasti adalah anak-anak yang diharapkan menjadi pemimpin di masa depan, menjadi korban di tangan-tangan yang seharusnya menjadi contoh dan tauladan mereka sehari-hari. Yang sering terdengar adalah demi mendisiplinkan anak-anak, maka dibutuhkan tindakan kekerasan. Tindakan pendisiplinan ini sering disebutkan dengan nama corporal punishment yang sesungguhnya berasal dari tradisi militer, yaitu penghukuman kepada copral (pangkat rendah di dalam struktur militer) yang melakukan pelanggaran.

Guru memang bukan satu-satunya pelaku kekerasan di sekolah. Perlakuan kekerasan juga memang kerap dilakukan oleh anak-anak terhadap teman mereka. Hanya saja memang angkanya tidak setinggi dengan pelaku dari kalangan guru. Juga harap diingat bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anak, jangan sampai juga membuat kita serta merta menyalahkan anak tersebut. Ada banyak faktor mereka (anak-anak di sekolah) berbuat kekerasan, antara lain adalah pengaruh lingkungan dan bahkan mungkin meniru guru-guru mereka yang juga ringan tangan terhadap murid-muridnya. Tentu tindakan anak-anak sekolah ini juga tidak bisa dibenarkan begitu saja. Jika melihat jenis kekerasan yang dialami oleh anak didik di sekolah, setidak-tidaknya ada tiga macam, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis dan kekerasan seksual. Kekerasan fisik yang kerap kali diterima anak didik mulai dari dicubit, dihukum berdiri selama jam pelajaran, ditempeleng, dan sebagainya.

Lunturnya Nilai-nilai Luhur

Kasus-kasus kekerasan dan kejahatan seksual pada anak di sekolah dalam berbagai bentuknya juga merebak seiring dengan lunturnya nilai-nilai luhur sebuah bangsa. Terutama dalam skala yang paling hakiki dalam kehidupan seorang anak. Anak adalah titipan Tuhan. Bukan robot yang bisa diprogram begitu saja sehingga bisa bergerak hanya atas kemauan guru dan orang tua. Anak adalah pribadi yang mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan iramanya masing-masing. Anak bukanlah orang dewasa, karenanya mereka tidak boleh diperlakukan seperti orang dewasa. Mereka tidak boleh bekerja melakukan kerja berat seperti orang dewasa. Dan bila mereka melakukan kesalahan atau pelanggaran, mereka juga tidak boleh dihukum seperti orang dewasa.

Kasus kekerasan yang terjadi di sekolah umumnya muncul sebagai kesalahan oknum guru dalam mengartikan salah satu asas pendidikan: punishment and reward. Harusnya pemahaman itu diimbangi dengan pengertian tentang adanya konsekuensi (akibat) dari tiap tindakan yang diambil. Konsekuensi ini yang rasa-rasanya sering luput dari pengajaran. Tindakan kekerasan terhadap anak merupakan tindakan kriminal yang pelakunya dapat diproses secara hukum. Tindakan kekerasan dengan bungkus pendidikan juga dapat mengakibatkan pelaku dikenai tindak pidana, sebagaimana disebutkan dalam pasal 80 UU. No. 23 tahun 2002: “(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah). (2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya”.

Anak didik adalah gambaran “masa depan” bangsa ini. Dengan demikian, sudah seyogyanya masalah kekerasan pada anak didik di sekolah menjadi “PR bersama” yang harus terus direnungkan, dikaji dan secepatnya diselesaikan. Bukankah demikian?

Tinggalkan komentar